Foto Bersama Setelah Penanda Tanganan Perjanjian New York 15
Agustus 1962. Sumber: John Anari Document
Ada gagasan menarik yang terlontar dari
seorang Wakil Rakyat dari Papua, Drs. Paulus Sumino. Yakni gagasan untuk
menulis kembali sejarah Integrasi Papua ke dalam
pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). http://www.bintangpapua.com/headline/25686-integrasi-papua-ke-nkri-perlu-ditulis-kembali
Gagasan itu disuarakannya persis pada
15 Agustus 2012 bertepatan dengan 50 tahun Kesepakatan New York (New York
Agreement) yang menjadi salah satu tonggak sejarah perjuangan NKRI membebaskan
Tanah Papua dari cengkeraman penjajah Belanda.
Dampak Tidak Paham
Keingingan untuk menulis ulang sejarah
Integrasi Papua itu terasa sangat aktual, mengingat salah satu faktor pemicu
konflik Papua terkait erat dengan adanya berbagai interpretasi, baik di kalangan masyarakat Papua maupun
masyarakat internasional tentang sejarah Integrasi Papua ke dalam NKRI. Karena ketidakpahaman itulah, banyak
tokoh Papua yang terpaksa harus mendekam dalam penjara karena mereka tidak bisa
lagi membedakan antara kebebasan berdemokrasi dan makar. Ada juga yang terpaksa
harus mengungsi ke luar negeri untuk meminta suaka politik dari negara
lain. Sementara sebagian aktivis pro-M lainnya yang terus bergerilya di dalam
negeri harus pintar-pintar mensiasati aktivitasnya dengan berlindung pada
kebebasan berdemokrasi dan HAM.
Kembali soal New York Agreement yang
baru saja genap berusia setengah abad itu, jika gagasan penulisan sejarah
integrasi itu jadi dilaksanakan, tentu saja ia akan menjadi salah satu materi
utama. Karena dari kesepakatan itulah penjajah Belanda “dipaksa” untuk tidak
lagi mengingkari atau mengulur-ulur waktu untuk mengembalikan Papua menjadi
bagian tak terpisahkan dari NKRI.
Ingkar Janji
Ingkar janji Belanda paling tampak
adalah ketidak-konsisten Belanda terhadap isi Konferensi Meja Bundar (KMB) yang
diteken di Den Haag pada tgl 22 Desember
1949. Dalam
perjanjian itu disepakati bahwa
seluruh bekas jajahan Belanda adalah wilayah Republik Indonesia, yang harus
diserahkan ke dalam pangkuan NKRI, kecuali penyerahan Papua Barat akan dilakukan 2 (dua) tahun kemudian.
KMB itu diikuti
dengan Penyerahan kedaulatan atas wilayah jajahan Belanda kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Penyerahan itu dilakukan secara simbolis dengan dua upacara. Upacara pertama
berlangsung di Amsterdam, di Istana Op de Dam, dihadiri oleh Wakil Presiden/Perdana
Menteri Mohamad Hatta yang sekaligus
sebagai pemimpin delegasi Indonesia dan Ratu Juliana serta segenap kabinet
Belanda. Upacara kedua berlangsung di Istana Negara, Jakarta, dihadiri oleh
wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia Tony Lovink dan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX sebagai wakil perdana menteri Indonesia.
Kesepakatan New York
Pasca-penyerahan kedaulatan tanggal 27
Desember 1949 itu, Belanda tampak enggan meninggalkan Papua bagian barat.
Penyerahan Papua bagian barat yang telah disepakati akan diselesaikan dalam tempo dua
tahun sejak KMB, ternyata
tidak terealisasi hingga tahun 1961.
Belanda tidak hanya sekedar bertahan di
Papua, tetapi lebih dari itu, Belanda ternyata sedang mempersiapkan
langkah-langkah untuk memisahkan Tanah Papua dari NKRI. Belanda membentuk
Dewan Nasional Papua dibentuk dan secara tergesa-gesa mendeklarasikan kemerdekaan
Papua bagian Barat tanggal 1 Desember 1961.
Kelicikan Belanda membentuk negara
bonekanya di papua itu, tentu saja membuat bangsa Indonesia marah. Maka pada tanggal 19 Desember 1961di Alun-alun Utara Jogjakarta,
Presiden
Indonesia Soekarno mengumumkan Trikora
( Trikomando Rakyat) untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Konfrontasi dengan Belandapun tak
terhindarkan.
Kendati perang fisik akhirnya tidak
terjadi, namun hasil penggalangan dukungan yang dilakukan Bung Karno ke negara-negara Asia-Afrika hingga Uni Sovyet yang mendukung peralatan perang senilai 2,5 miliar
dollar, tentu saja membuat negara-negara Barat khususnya AS dan Inggris
khawatir. Kekhawatiran Amerika adalah masalah
Papua bisa menyebabkan Perang Dunia Ketiga.
Pertemuan antara Indonesia dan Belanda untuk membicarakan
Irian Barat, di Villa Huntlands di Middleburg, Virginia, Amerika Serikat,
Agustus 1962. Pihak Indonesia dipimpin oleh Menlu Soebandrio. Diplomat AS
Ellsworth Bunker bertindak sebagai penengah. (Foto: www.kemlu.go.id)
Berangkat dari kekhawatiran itulah, AS
lalu mendesak Belanda untuk mengadakan
perundingan dengan Indonesia. Maka pada
tanggal 15 Agustus 1962 terselenggaralah perjanjian
New York yaitu persetujuan antara pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia
mengenai Irian Barat. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Adam Malik
dan Belanda oleh Dr. Van Royen, sedang E. Bunker dari Amerika Serikat menjadi
perantaranya.
Inti isi kesepakatan itu adalah Belanda
menyerahkan kembali Papua bagian barat ke dalam pangkuan NKRI. Agar Belanda
tidak kehilangan muka, disepakati agar penyerahan itu tidak secara langsung
dari Belanda kepada Pemerintah Indonesia, tetapi melalui PBB. Maka dibentuklah suatu Badan Pelaksana Sementara PBB yang
diberi nama United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Badan
ini berada di bawah kekuasaan Sekretaris Jenderal PBB.
UNTEA
dikepalai seorang Administrator PBB yang diangkat Sekretaris Jenderal PBB
dengan persetujuan dari pemerintah Indonesia dan Belanda. Administrator
tersebut menjalankan pemerintahan di Irian Barat untuk jangka waktu satu tahun
sesuai petunjuk dari Sekretaris Jenderal PBB.
Penyerahan pemerintahan kepada UNTEA
itu kemudian dituangkan dalam Resolusi
Majelis Umum PBB No. 1752 tanggal 21 September 1962. Pelaksanaan resolusi itu efektif
mulai 1 Oktober 1962, yang ditandai dengan pengibaran bendera PBB (UNTEA) berdampingan
dengan bendera Belanda di Irian Barat. Tanggal 31 Desember 1962 bendera
Belanda diturunkan dan sebagai gantinya dikibarkanlah bendera Indonesia
berdampingan dengan bendera PBB (UNTEA).
Pemerintahan
UNTEA dipimpin oleh
Administrator Jose Rolz Bennet yang tidak lama kemudian digantikan oleh Dr.
Djalal Abdoh. Dalam perjalannya memang pemerintahan UNTEA menghadapi rintangan, namun pada akhirnya UNTEA berhasil melaksanakan tugasnya menyerahkan kekuasaan
kepada pemerintah Indonesia dengan baik sesuai dengan persetujuan New York
1962.
Baru pada tanggal 1 Mei 1963 Papua bagian barat kembali berintegrasi ke dalam NKRI, namun pengukuhannya harus melalui plebisit para penduduknya,
yang kita kenal dengan PEPERA (Penentuan Pendapat
Rakyat). PEPERA akhirnya berhasil digelar
tahun 1969,
dengan hasil
akhir : rakyat Papua bagian barat memilih
tetap dalam bingkai NKRI.
Peneliti Papua dari LIPI, Muridan Wijoyo yang menjelaskan bahwa Pepera itu digelar untuk menjalankan perintah
dari perjanjian New York pada 1962, yang menyebutkan bahwa untuk memastikan
apakah Papua bagian dari NKRI atau bukan harus dilakukan Pepera. Pepera
1969 dihadiri oleh sekitar 1025 perwakilan rakyat Papua. Pepera digelar di
sejumlah kabupaten antara lain di Jayapura, Biak, dan Merauke. Berdasarkan
hasil Pepera saat itu, semua perwakilan menyatakan mau bergabung dengan RI.
“Hasil Pepera 1969 ini pun kemudian diakui oleh PBB dan
dikeluarkan resolusi yang menyatakan Papua sebagai bagian yang sah dari NKRI.
Resolusi ini juga disetujui 80 negara anggota PBB dan hanya 20 negara yang
abstain,” jelasnya. “Tidak ada negara di dunia yang menolak masuknya Papua
ke Indonesia.” Tegas Muridan. http://news.viva.co.id/news/read/261252-faktor-rusuhnya-papua
Itupun belum cukup. Hasil
PEPERA harus diuji terlebih dahulu oleh Majelis Umum PBB. Dan proses itupun
dilaksanakan dengan baik dan demokratis. Tanggal 19 Oktober 1969, Majelis Umum
PBB mengesahkan hasil PEPERA dengan mengeluarkan Resolusi Majelis Umum PBB No.
2504. Resolusi itu sekaligus mengakhiri perdebatan panjang tentang status
politik wilayah Papua. Artinya, keberadaan Papua sebagai bagian tak terpisahkan
dari NKRI sudah FINAL.
Kalaupun saat ini muncul
gagasan untuk menulis kembali sejarah integrasi Papua, itu dilakukan
semata-mata untuk menegaskan kepada generasi muda bangsa Indonesia sekaligus
penegasan kepada dunia bahwa Papua adalah Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar